Kamis, 16 Mei 2019


Gerakan Mahasiswa: Berangkat dari Mana dan Menuju ke Mana ?

 


PENDAHULUAN
AWALdan pertengahan kepengurusan organisasi mahasiswa saat ini, merupakan waktuyang tepat untuk mewacanakan kembali arah gerakan mahasiswa. Hal ini yang kadangterlewatkan di antara sebagian aktivis kampus. Padahal sebenarnya, ini selalumenjadi hal yang menarik dan krusial, khususnya sebagai jawaban dari pertanyaanmau dibawa kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini. Artikel ini memilikitujuan untuk melihat kembali perjalanan gerakan mahasiswa dan sebagai tawarandiagnosis bagi gerakan ke depannya. Usaha ini dirasa sangat penting saatmelihat gerakan mahasiswa saat ini semakin kehilangan arah dan basis massanya.
Gerakanmahasiswa tidak semata sebagai kumpulan mitos dan slogan yang selaludidengung-dengungkan para aktivis. Akumulasi mitos ini justru melenakan danmeninabobokan mahasiswa dalam zona nyamannya. Gerakan mahasiswa menuntut adanyaposisi yang jelas dan tegas, misalnya, dimana mahasiswa seharusnya berada ditengah masyarakat. Menjawab soal tersebut, sebuah analisa tentang posisimahasiswa secara teoritis sangat dibutuhkan. Pun juga sebagai prakteknya dalam “mengabdikan”dirinya pada masyarakat. Dalam artian sederhana, aktivisme gerakan mahasiswa saatini membutuhkan topangan teori yang kuat sebagai landasan geraknya. Bukan untukmenjadikan mahasiswa berteori secara saklek dan kaku, tetapi sebagailandasan gerak yang jelas bagi langkah ke depan. Pentingnya teori dalam gerakanini pernah dinyatakan Lenin, “Tanpa teori yang revolusioner tak akan adagerakan revolusioner.’

BELAJAR DARI SEJARAH
Gerakanmahasiswa dalam prakteknya bukanlah hal yang ahistoris. Gerakan initelah melewati spektrum waktu yang lama dan cakupan geografis yang luas.Artinya, gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinyadengan locus spesifik Indonesia. Justru, gerakan mahasiswa Indonesiamerupakan bagian dari kesejarahan gerakan mahasiswa secara luas di dunia.
Dalamsejarah, secara umum gerakan mahasiswa Indonesia melegenda dalam masa-masatertentu. Secara awam pun, mahasiswa dapat menyebutkan dengan hapal momentumitu. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998 (atau 2010untuk masa kampus kita), diakui sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa diIndonesia. Namun, sebenarnya, yang perlu dilakukan mahasiswa Indonesia saat inibukanlah mengagung-agungkan gerakan mahasiswa pada masa itu denganmenyebut-nyebutnya secara heroik. Mengapa demikian, karena perilaku itujustru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada romantisme masa lalu dan terjebakdalam mitos-mitos konyol yang banyak menyebutkan bahwa mahasiswa sebagaisatu-satunya motor gerakan perubahan sosial. Bukan bermaksud meremehkan peranmahasiswa pada masa itu, tetapi pengagungan membabi-buta akan gerakan mahasiswaketika itu, dalam pengalamannya, justru hanya akan berakhir pada rasa banggasaja dan semakin mengokohkan mitos-mitos yang ada, dan yang paling menusukadalah tak mengubah keadaan sedikit pun.
Halyang perlu dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas “mitos-mitos”di atas dan memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan upaya merekonstruksikembali apa yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalampembacaan atas realitas sekarang. Secara real memang kondisi sosialnyajelas berbeda, tetapi pola-pola pembacaan atas kondisi yang terjadi patut untukdilihat. Berangkat dari tesis bahwa gerakan mahasiswa bersifat historis, makabelajar dari masa lalu adalah upaya mempelajari pola-pola gerakan tersebutsecara kritis. Hal ini perlu dilakukan agar wawasan tentang gerakan mahasiswatidak sempit. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari fakta sejarah yang telahterukir di lintasan dunia dalam hal gerakan mahasiswa sebagai bahan analisa.
MahasiswaAmerika Latin adalah pemberi contoh yang baik bagaimana mahasiswa berperandalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya ManifestoCordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hakmahasiswa yang pertama di dunia, dan sejak itu mahasiswa di sana memainkanperan yang konstan dan militan dalam kehidupan politik. Manifesto Cordobaadalah deklarasi mahasiswa yang menuntut adanya otonomi akademik universitasdan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas (cogobierno).Hal ini berangkat dari adanya administrasi lama yang tidak pernah memberikanruang untuk pembaharuan kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap orangketakutan bila melakukan perubahan. Hal yang dinyatakan dalam manifestotersebut salah satunya, “Kami ingin menghapus dari organisasi universitaskonsep tentang otoritas yang kuno dan barbar, yang menjadikan universitasbenteng pertahanan tirani yang absurd.”
Programreformasi total yang diinginkan mahasiswa berusaha mendobrak pandangankonservatif akan universitas, dengan memberikan independensi penuh padauniversitas dari kooptasi kepentingan politik pemerintah, juga memberikankesempatan mahasiswa untuk berbagi kekuasaan dalam kampus. Hal ini merupakanrefleksi atas kondisi sosial politis di Amerika Latin yang dikuasaipemerintahan otoriter, yang jangkauan kekuasaannys juga masuk ke dalam ranahakademik universitas. Kondisi yang demikian kemudian menyebabkan gerakanmahasiswa secara bertahap memperluas tuntutannya pada hal yang lebih bersifatpolitis, yaitu perlawanan pada rezim yang otoriter. Hal ini karena adanyakesadaran bahwa kebijakan universitas tersebut hanya sebatas symptom, perlupenghajaran pada akar penyakitnya. Perlawanan atas rezim tersebut dilakukandengan membentuk berbagai aliansi dan front bersama buruh dan petani sehinggadalam kenyataannya mahasiswa tidak bergerak sendiri. Dalam jangka waktu 20tahun, perlawanan mahasiswa dari Argentina ini menyebar ke seluruh AmerikaLatin. Di Peru tahun 1919, Chili 1920, Kolumbia 1924, Paraguay 1927, Brazil danBolivia 1928, Meksiko 1929, Kosta Rika 1930, dan Kuba pada tahun 1933 dan 1952.Setiap negara memiliki karakternya masing-masing, sehingga tingkat keberhasilandan durasi pencapaiannya pun berbeda-beda. Ada yang menang dengan menggulingkanrezim otoriter, ada juga yang hanya setengah-setengah dengan mendapatkanotonomi sementara. Namun setidaknya, mahasiswa Amerika Latin mengajarkan kepadakita jika tuntutan akademis dan aktivitas politik merupakan dua hal yang salingmelengkapi, bukan saling bertentangan.
DiItalia perlawanan mahasiswa berawal dari Turin. Mahasiswa berhasil mengontrolaktivitas fisik dan intelektual kampus mereka melalui kegiatan-kegiatannyasendiri. Selama sebulan kampus berhasil di duduki (27 November 1967-27 Desember1967), sebelum aparat menyerbu kampus tersebut.  Sejak itu perlawananmeluas ke beberapa kota sepanjang jazirah Italia. Alasan utama mahasiswamelakukan perlawanan adalah karena kondisi akademis yang otoriter. Tradisipedagogi dan kurikulum menjadikan profesor-profesor di sana dapat mengajardengan seenaknya sendiri, misalnya, para professor di sana memberi kuliahdengan diktat yang ditulisnya sendiri dan ujian hanya diambil dari diktattersebut. Tak ada ruang diskusi yang bebas dan kesempatan belajar dari sumberlainnya. Selain itu, kurikulum yang disusun sangatlah kuno, seperti silabuskuliah ilmu politik yang hanya sampai pada pemikiran JJ. Rousseau. Keterbatasandan kekakuan akademis ini membuat mahasiswa “terkurung” dalam kegiatanakademisnya sendiri. Oleh karena itu, agenda utama perlawanan mereka adalahkritikan atas kondisi akademis tersebut. Untuk mencapai itu, gerakan mahasiswaberusaha memperluas jangkauannya dengan keluar dari Turin, tentu denganmengubah tuntutan secara praktis menjadi ‘Lawan Otoriterianisme.’ Tujuannyajelas agar diikuti seluruh mahasiswa di Italia. Efeknya dalam dua bulan(Januari-Februari 1968), gerakan mahasiswa ini meluas hingga seluruh kota di Italia. Tidak hanya terdiri dari elemen mahasiswa saja, tetapi jugapelajar dan para buruh FIAT. Hal ini kemudian menyita perhatian publik danmembuat pemerintah tak tinggal diam. Represivitas terjadi dalam menghentikanperlawanan ini, sehingga setidaknya 2000 mahasiswa ditangkap dengan berbagaituduhan. Kenyataan gerakan di Italia ini kemudian berhasil mengubah strukturakademis dan memaksa para professor melihat kembali kurikulum di dalam kampus.Juga mengubah kebijakan pendidikan nasional ke arah yang lebih egaliter danterbuka.
Gerakanmahasiswa di Spanyol dilatar belakangi dua hal, yaitu krisis dan perlawananterbuka kepada rezim Franco dan kondisi internal Universitas. Secara umum,mahasiswa merupakan entitas yang kecil di Spanyol pada tahun 1965. Kondisi inidisebabkan oleh mahalnya biaya kampus dan sedikitnya subsidi dari pemerintah,sehingga mahasiswa dari kalangan buruh dan petani sangatlah kecil padahalmayoritas masyarakat berasal dari dua kelas tersebut. Hal ini kemudiandiperparah dengan sulitnya mencari pekerjaan bagi para sarjana setelah lulusdari kampus.
Selainkondisi di atas, kooptasi rezim Franco dalam kampus sangatlah besar, termasukdalam serikat mahasiswa. Hanya satu serikat mahasiswa yang diakui di Spanyol,yaitu Sindicato Espanol Universitario (SEU). Pimpinan serikat ini dipilih olehpemerintah, meski akhirnya diberikan keleluasaan pada mahasiswa untuk memilihsendiri. Namun, mahasiswa tidaklah puas dengan hal tersebut dan kemudian merekamembuat serikat baru yang dinamakan Federacion Universataria Democratica deEspana (FUDE) dan ADEC. Keduanya kemudian melebur menjadi ConfederacionDemocratica de Espana (CUDE). Setelah terbentuknya serikat baru ini, mahasiswamulai berani mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk dalam halserikat mahasiswa di kampus. Kritik mereka pada sistem Universitas kemudianmerembet pada isu politik nasional. Reli-reli protes selalu dihadapkan padabentrokan dengan aparat kepolisian. Guna menghadapi itu, mahasiswa kemudianmembuka jaringan dengan buruh karena memiliki kesamaan isu, yaitu kebebasanberserikat. Rezim Franco yang fasis dan totaliter dijadikan musuh bersamakarena memang dianggap sebagai akar masalah. Aliansi ini disahkan dengan mogokbersama pada tanggal 1-3 Mei 1968. Hal ini kemudian berakibat pada bentrokandan penagkapan besar-besaran pada aktivis mahasiswa dan buruh. Namun perjuanganbersama antara mahasiswa dan buruh terus berjalan hingga rezim Franco runtuh.
Gerakanmahasiswa juga terjadi di Perancis, yang paling terkenal pada tahun 1968.Banyak versi yang menceritakan hal ini, namun bila mengikuti alur cerita dariErnest Mandell, faktor utama dari protes mahasiswa di Perancis adalah adanyaalienasi dalam kehidupan mahasiswa yang disebabkan oleh kampus. Mahasiswadihadapkan pada sistem, struktur, dan kurikulum yang membuat mahasiswa semakinterk-eksklusi dari kehidupannya sendiri. Kampus membuat sistem ‘proletariatbaru’ sehingga mereka tak diperkenankan dalam menentukan kehidupannya di kampusdan berpartisipasi dalam menentukan kurikulum. Semua sistem, struktur, dankurikulum ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Mahasiswa tidakbelajar sesuai dengan minat dan bakatnya, tetapi diatur secara sistemik dalamkerangka besar untuk memenuhi kebutuhan industri. Hal ini kemudian menjadikanmahasiswa mulai protes terhadap kampusnya terkait permasalahan kampus. Setelahbeberapa waktu, akhirnya mereka menyadari jika akar permasalahan bukanlah dikampus, tetapi sistem yang mengatur masyarakat secara luas, kampus dianggaphanya salah satu bagian dari masyarakat. Pola perlawanan pun bergeser.Mahasiswa kemudian berafiliasi dengan buruh dan elemen masyarakat lain untukmenentang sistem yang menyebabkan ‘alienasi’ tersebut, yaitu kapitalisme.Perlawanan meluas  tak hanya di kampus saja, tetapi hampir di seluruhwilayah Perancis. Pertarungan ini naik-turun selama periode 1968 danmempengaruhi kenyataan politik di Perancis masa itu.

BERANGKAT DARI REALISME, MENUJUEMANSIPATORIS
Bilakita perhatikan bersama terdapat beberapa pembelajaran dari gerakan mahasiswadi atas. Pembelajaran ini berkaitan dengan pembacaan realitas atas kondisi.Dari beberapa kasus, setiap gerakan mahasiswa umumnya berangkat daripermasalahan yang ada di sekitar mereka, hal itu kemudian diabstraksikan kearah yang lebih mendasar untuk mencari akar masalahnya. Dengan kata lain,gerakan mahasiswa selalu bermula dari realitas di sekitarnya, dari sesuatu yangreal, dan kemudian diproblematisasi. Bila mengikuti logika ini, makagerakan mahasiswa di atas melihat permasalahan dengan kacamata realisme kritis.
Berangkatdari realisme merupakan kunci dalam melihat permasalahan. Lantas kemudiantimbul pertanyaan, hal seperti apa yang disebut sebagai realitas? Atau apakahyang disebut dengan realisme? Sebelum itu, mari kita bedah apa yang disebutdengan realisme. Realisme adalah sebuah pemahaman yang melihat  kenyataansebagai hal yang terpisah dari diri pengamat. Dalam hal ini, kenyataan menjadisesuatu yang ada secara in heren di luar diri pelaku, walau pelaku ituada atau tidak. Hal ini berbanding terbalik dengan idealisme yang melihatkenyataan sebagai sesuatu yang ada karena idea di kepala mengatakan haltersebut ada. Artinya, kenyataan ditetukan oleh pikiran atau anggapanseseorang. Dari perspektif realis, gerakan mahasiswa memandang jikapermasalahan sosial sebagai sesuatu yang ada secara real di luar dirimereka. Ada atau tidak adanya gerakan mahasiswa, realitas permasalahan itu adadi masyarakat. Melihat hal tersebut, gerakan mahasiswa kemudian muncul sebagairespon terhadap hal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kemunculan gerakanmahasiswa tidak selalu disyaratkan secara deterministik oleh permasalahansecara real itu.
Realismekritis sendiri memiliki tiga tingkatan aspek ontologis, yaitu (a) realitasempirik (realitas yang dapat dijumpai dengan panca indera), (b) realitas aktual(realitas yang dijumpai dalam ruang dan waktu), dan (c) realitas ‘real’(realitas yang bersifat transfaktual dan lebih bertahan daripada persepsi kitakarena ia berisi struktur yang memiiliki kapasitas kuasa dan menjadi dasarterdalam dari peristiwa-peristiwa yang diobservasi muncul). Hubungan dariketiga realitas tersebut terjadi secara sebab-akibat. Artinya realitas (a)disebabkan oleh realitas (b) dan disebabkan oleh realitas (c). Sehingga, realitas(a) merupakan manifestasi secara  empirik dari realitas (c). Oleh karenaitu, realisme kritis selalu mensyaratkan untuk mendapatkan realitas  yang‘real’ atau sejati dalam fenomena sosial, maka dibutuhkan sebuah cara untukmelampaui realitas empirik dan realitas aktual tadi dan berusaha tak terjebakdalam keduanya. Hal ini seperti apa yang dipaparkan Roy Bhaskar, bahwa pertama,dunia ada secara independen dari anggapan-anggapan kita terhadapnya sekaligusterdiferensiasi dan terstratifikasi; kedua, fenomena sosial muncul daridalam relasi struktur menjadi aktual kemudian tampil secara empiric; ketiga,sehingga untuk mempelajari fenomena sosial, seseorang harus memulai dari bidangempirik, tetapi tidak boleh berhenti di situ saja melainkan harus terus bergerakke bidang aktual hingga mendapatkan pemahaman di tingkat relasi-relasi terdalamdari struktur, yaitu kuasa.
Melihatpengalaman dari gerakan mahasiswa di atas, gerakan mahasiswa dapat dikatakanberangkat dari realitas empirik karena permasalahan yang di hadapi dapatditangkap oleh pancaindera dan langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. DiAmerika Latin hal itu dimulai dari permasalahan otonomi akademik, di Italiadari otoritarianisme akademik, di Spanyol karena kekangan berorganisasi, dan diPerancis karena ‘proletarianisasi’ kampus. Semuanya berangkat dari permasalahanyang empirik di hadapan mereka. Namun, seperti paparan Bhaskar tadi, untukmendapatkan realitas yang ‘real,’ mereka tidak berhenti pada tataranpermasalahan empirik saja, tapi terus melaju untuk melewati permasalahan aktualdan menuju permasalahan terdalam yang berasal dari relasi struktur, yaitukuasa. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa dari Amerika Latin, Italia, Spanyoldan Perancis kemudian menyadari jika permasalahan yang terjadi di duniaakademik mereka bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terdapat realitas lainyang menjadi sumber permasalahan mereka, permasalahan inilah yang disebutsebagai realitas ‘real.’ Realitas ‘real’ berhubungan dengan relasi kuasa secarastruktural yang menjadi akar permasalahan itu. Itulah mengapa kemudian merekabergerak maju menuju sesuatu yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahanyang sejati atau ‘real’ tersebut. Di Amerika Latin gerakan mahasiswa kemudianmenuntut dijatuhkannya otoritarianisme pemerintah, di Italia menuntut sistemakademik dalam tingkat nasional, di Spanyol menyerang fasisme Franco, dan diPerancis kemudian menyerang sistem kapitalisme pendidikan. Hal itu dilakukansaat mereka menemukan realitas ‘real’ tersebut dalam konteks saat itu.
Pembelajaranyang didapatkan dari pembacaan realitas yang telah dilakukan oleh kawan-kawangerakan mahasiswa beberapa tahun lalu, dapat memberikan gambaran kepada gerakanmahasiswa sekarang untuk melihat permasalahan secara kritis. Berangkat darirealisme, dalam hal ini tentu dengan asumsi realisme kritis, adalah untukmendapatkan gambaran struktur permasalahan sosial dengan kacamata ontologismetersebut. Jargon bahwa mahasiswa berangkat dari realisme harus dijabarkandengan asumsi seperti di atas. Mahasiswa berangkat dari realitas atau fenomenasosial secara empirik kemudian menuju sesuatu sesuatu yang ‘real,’ yang menjadiakar permasalahan tersebut. Sekaligus tidak terjebak dalam realitas empirik danaktual saja. Pembacaan  realitas yang demikian, menurut saya, tak hanyauntuk permasalahan yang tunggal saja. Analisa terhadap perkembangan isu sosialkemasyarakatan yang berlangsung secara paralel perlu untuk dilakukan dengananalisa seperti di atas, sehingga gerakan mahasiswa tak hanya berkutat padasatu isu ke isu lainnya saja, yang itu sebenarnya hanya realitas empirik. Perlupenarikan secara ontologis untuk melihat realitas ‘real’ yang terjadi.Permasalahan ‘real’ ini yang menjadi basis permasalahan untuk dihajar.
Penjabaransatu bagian telah dilewati, yaitu berangkat dari mana gerakan mahasiswa. Makaselanjutanya yang perlu kita upas, menuju kemanakah gerakan mahasiswa ini?Setelah realitas ‘real’ didapatkan lantas untuk apa diselesaikan?
Dalampikiran saya, perjuangan gerakan mahasiswa menuju pada satu kata, yaituemansipatoris. Perjuangan ini secara singkat bertujuan untuk humanisasikehidupan manusia. Dalam pengertian humanisasi, pembebasan manusia daribelenggu yang diciptakan permasalahan secara ‘real’ tadi berusaha dilepaskan.Perjuangan emansipatoris berkaitan dengan sisi aksiologis dari ilmu pengetahuanyang menjadi domain mahasiswa selama ini. Dengan perjuangan emansipatoris, ilmupengetahuan tak hanya berkutat di dunia kampus dan bebas nilai dalam menilaipermasalahan. Ilmu pengetahuan yang emansipatoris mensyaratkan keberpihakan danberusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Begitu pula gerakan mahasiswasebagai bagian dari civitas akademika, maka keberpihakan dan terlibat dalampenyelesaian masalah sosial menjadi hal yang terhubung dengan perjuanganemansipatoris.
Dalamdiri emansipatoris ini, keberpihakan menjadi arahan untuk menciptakankesetaraan bagi subyek yang diperjuangkan. Selain itu, keberpihakan menjadijaminan jika perjuangan mahasiswa bukanlah hal yang bebas nilai dan nihil.Terdapat subyek yang menjadi dasar analisa bagaimana perjuangan diarahkan danukuran kemenangannya. Sedangkan, aspek keterlibatan dalam penyelesaian masalahmenjadi domain pembebasan bagi yang diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa.Pembebasan ini merupakan langkah humanisasi dari belenggu permasalahan ‘real’di atas. Dalam perjuangan emanispatoris ini, gerakan mahasiswa dituntut untukterus kontinyu dalam denyut gerakan sosial masyarakat.
Haltersebut dapat kita lihat dari pembelajaran gerakan mahasiswa di atas,bagaimana perjuangan mereka diarahkan ke perjuangan emansipatoris. Gerakanmahasiswa setelah menemukan realitas ‘real’ nya, diarahkan untuk membebaskandiri dari belenggu itu, sekaligus menggabungkan diri dengan sektor lain dimasyarakat untuk menghapuskan belenggu yang dihasilkan oleh realitas ‘real’tadi. Penggabungan diri ini dilakukan karena pada umumnya permasalahan ‘real’merupakan akar permasalahan bagi banyak permasalahan empirik yang sifatnyamulti sektoral. Oleh karena itu, menurut saya, perjuangan emansipatoris takdapat dilakukan dengan sendirian oleh gerakan mahasiswa. Penggabungan diridengan gerakan lain di masyarakat perlu dilakukan dalam rangka pembebasanbelenggu dari permasalahan yang berakar pada relasi struktur tadi.

PENUTUP
Melaluitulisan ini, pembelajaran atas pembacaan realitas yang dilakukan gerakanmahasiswa di berbagai belahan dunia menjadi hal yang penting. Setidaknya,bagaimana gerakan ini berangkat dan menuju ke arah mana. Analisa atas haltersebut perlu mendapatkan porsi yang seimbang dalam dunia gerakan mahasiswasekarang agar tak  menjadi ‘kerbau liar’ dalam dunia gerakan masyarakat.
Dengananalisa di atas, dalam hemat saya, gerakan mahasiswa saat ini harus berangkatdari realisme dan menuju perjuangan emansipatoris. Dengan ini berarti menyadarijika permasalahan sosial telah ada di luar sana, maka hal yang perlu dilakukanberikutnya adalah analisa untuk menemukan relasi-relasi struktur yang menjadiakar permasalahan sekarang, untuk menuju suatu realitas yang ‘real.’ Hal iniyang dimaksudkan dengan term Berangkat dari Realisme. Selanjutnya, adalahpengarahan untuk menuju arena pembebasan yang dilakukan secara bersama-samadengan elemen masyarakat lain untuk menuju sebuah perjuangan yangemansipatoris. Perjuangan ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat daribelenggu permasalahan yang diciptakan oleh permasalahan ‘real’ tadi. Haldemikian menjadi tujuan dari gerakan mahasiswa saat ini. Penjelasan tersebut,yang menurut saya, menjadi jawaban dari mana dan kemanakah arah gerakan mahasiswasaat ini (harus) bergerak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar